WEBINAR PENDIDIKAN : “MENJADI ORANG TUA YANG MEMBAHAGIAKAN ANAK” (Bag. 1)

0
636

WEBINAR PENDIDIKAN FOSIS SDIT INSANTAMA
“MENJADI ORANG TUA YANG MEMBAHAGIAKAN ANAK” (Bag. 1)

Penulis: Nismira Chantialina

Alhamdulillah, pada hari Sabtu tanggal 19 Juni 2021 telah terlaksana Webinar Pendidikan yang diselenggarakan oleh FOSIS SDIT Insantama Bogor, mengangkat tema “Menjadi Orang Tua yang membahagiakan Anak”, dengan menghadirkan narasumber Pakar Parenting Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari atau yang lebih dikenal dengan Abah Ihsan.

Walaupun kuota peserta hanya sebesar 500 orang dan terbatas untuk kalangan internal SIT Insantama saja, namun alhamdulillah antusiasme peserta sangat terlihat dari awal pendaftaran webinar ini dibuka. Tidak hanya dihadiri oleh orang tua siswa SIT Insantama Kota Bogor saja, tetapi juga disimak oleh guru-guru SIT Insantama, pihak manajemen dan yayasan, serta peserta undangan yang berasal dari cabang-cabang SIT Insantama yang tersebar di kota-kota lain di Indonesia, diantaranya Malang, Banjarmasin, Pontianak, Bekasi, dan Kendari. Alhamdulillah

Acara yang dipandu oleh bapak Ari Susanto dan bapak Ayung Sunandar ini, dimulai pada pukul 08.00 – 11.00 WIB. Diawali dengan Pembacaan Ayat-ayat Suci Al Qur’an Surah Al Isra’ ayat 23-25, oleh Ghania Nabila (siswi kelas 4D) dan Mujahidah Azzahra (siswi kelas 5A). Dilanjutkan dengan sambutan dari pihak yayasan SIT Insantama oleh bapak M. Adhi Maretnas dan bapak Adi Fadjar Nugroho selaku Kepala SDIT Insantama Bogor. Setelah itu, ananda Arlya Nundzaky Hakim dan Khansa Shafwatul Ulya dari kelas 3E membawakan sebuah puisi yang sangat menyentuh hati, tentang kerinduan seorang anak atas kehadiran ayah bundanya. Selanjutnya adalah sambutan yang disampaikan oleh ibu Rahayu Savitri Zen selaku Ketua FOSIS SDIT Insantama Bogor.

Masuk ke dalam materi webinar, Abah Ihsan mengawali dengan membahas tentang beberapa masalah mendasar tentang kebahagiaan anak. Terkait makna kebahagiaan itu sendiri, abah mengingatkan betapa semua orang ingin bahagia dan berusaha mencari kebahagiaan tersebut, tetapi mengapa banyak orang yang kesulitan untuk menemukannya. Seringkali orang terkecoh antara makna kebahagiaan dengan kesenangan. Banyak orang yang mencari kebahagiaan, tetapi yang dilakukan adalah kesenangan. Umumnya kita berusaha menemukan kebahagiaan dengan melakukan hal-hal yang sebenarnya adalah bentuk dari kesenangan semata, misalkan wisata kuliner, wisata ke gunung, berlibur keluar negeri, dan lain-lain. Tetapi apakah itu adalah kebahagiaan?.

Banyak pula orang tua yang ingin membahagiakan anaknya, padahal yang mereka lakukan hanyalah sebatas menyenangkan anaknya. Sebagai contoh, orang tua ingin membahagiakan anak dengan mengajak membeli mainan, atau mengajak pergi berlibur. Tetapi yang terjadi adalah ketika mainan sudah ditangan anak, atau saat berada di lokasi liburan orang tua menjadi lupa tujuan awalnya. Orang tua menjadi asyik sendiri dengan dunianya, dengan gadgetnya, sementara anak bermain sendiri. Tidak ada keterikatan dalam prosesnya, kurangnya komunikasi dan kebersamaan. Orang tua merasa sudah cukup dengan hanya menyenangkan anak, padahal bukan itu letak kebahagiaan anak.

Masalah berikutnya menurut Abah Ihsan adalah perlunya memahami tentang prinsip dasar bahwa kesenangan itu makin dilakukan makin berkurang bahkan hilang nilai kesenangannya. Sebagai contoh, kita senang berlibur ke Bali, tetapi ketika setiap akhir minggu kita berlibur ke Bali, maka bisa jadi yang timbul adalah rasa bosan, berkurang rasa senangnya. Tetapi masalahnya, kita sebagai manusia tidak akan pernah merasa puas mengejar kesenangan. Berbeda dengan kesenangan, kebutuhan sejatinya tanpa dibatasi pasti akan berhenti. Karena itu, terkait kebahagiaan anak, Abah Ihsan mengingatkan prinsip dasar yg lain, bahwa kesenangan anak wajib dibatasi dan kebutuhan anak wajib dipenuhi. Sebab, jika kesenangan anak tidak dibatasi, maka anak akan terjebak ke dalam penderitaan hati.

Mengenai kebutuhan dan kesenangan anak ini, Abah Ihsan menjelaskan bahwa pada anak-anak, konstruksi otak khususnya sel-sel sarafnya menyambung sedikit demi sedikit sesuai perkembangan usianya. Karena itulah, maka pada awalnya anak-anak hanya berorientasi pada kesenangan, seperti bermain, bereksplorasi, sehingga masih sangat memerlukan bimbingan orang tua agar tepat sesuai dengan kebutuhan anak. Abah Ihsan mengingatkan bahayanya jika semua keputusan tentang anak kita didasari oleh keinginan anak itu sendiri. Sebagai contoh, sering kita temukan anak usia 5 tahun atau kurang dari 6 tahun sudah masuk SD, orang tuanya berdalih ini karena keinginan anak atau orang tua merasa kemampuan anaknya sudah mencukupi untuk masuk SD. Sementara menyekolahkan anak di usia dini, berpotensi membuat anak menjadi ‘burned out’, anak mudah menjadi lelah secara mental, hal ini disebabkan ketidaksiapan konstruksi otaknya. Oleh karena itu memperhatikan keinginan anak tidak boleh bertentangan dengan kebutuhan anak.

Anak-anak sejatinya memiliki kemampuan untuk tidak mudah merasa bosan, dan bisa jadi memiliki kreativitas tanpa batas. Asalkan kita sebagai orang tua tidak memberikan banyak larangan dan anak pun juga tidak terikat kepada 1 benda semisal gadget atau televisi, karena ketergantungan pada gadget atau televisi bisa mematikan daya kreativitas anak.[]

Bersambung ….