Yuk Sekolah Di Rumah !
14 Hari Bersama Ummi dan Abi
Suplemen Pendamping
Membersamai Anandas Para Juara dan Calon Pemimpin
Hari Keempat,
- Memahamkan Kembali bahwa Pendidikan harus sejalan dengan Hakikat Hidup Manusia
- Memahamkan kembali bahwa Pendidikan Harus Menjadikan Manusia Sebagai Abdullah dan Khalifatullah
- Memahamkan Kembali Mengapa Keluarga, Sekolah dan Masyarakat Harus Satu Frekuensi
MENGAPA PENDIDIKAN HARUS ISLAMI?
Mengapa Sekolah, Keluarga dan Masyarakat Harus Satu Frekuensi
Ustadz Muhammad Arif Yunus dkk (2003)
MENGAMBIL HIKMAH DARI PERSOALAN KEHIDUPAN
Sesungguhnya dewasa ini di tengah-tengah masyarakat sedang berlangsung berbagai krisis multidimensi dalam segala aspek kehidupan. Kemiskinan, kebodohan, kedzaliman, penindasan, ketidakadilan di segala bidang, kemerosotan moral, peningkatan tindak kriminal dan berbagai bentuk penyakit sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Akibat krisis ekonomi yg berkepanjangan, puluhan juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan belasan juta orang kehilangan pekerjaan. Sementara, sekitar 4,5 juta anak harus putus sekolah. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga akibat krisis ekonomi yg berkepanjangan. Bagi mereka yg lemah iman, berbagai kesulitan yg dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan perbuatan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam. Korupsi, manipulasi dan kejahatan kerah putih juga seolah tak ada hentinya. Makin hari semua makin mengerikan. Mengapa semua ini terjadi?
Dalam keyakinan Islam, berbagai krisis tadi merupakan fasad (kerusakan) yg ditimbulkan oleh karena tindakan manusia sendiri. Ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surah ar-Rum ayat 41:
“Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan oleh karena tangan-tangan manusia”. (QS. Ar Rum: 41)
Muhammad Ali Ashabuni dalam kitab Shafwatu al-Tafasir menyatakan bahwa yg dimaksud dengan bi ma kasabat aydinnas dalam ayat itu adalah “oleh karena kemaksiyatan-kemaksiyatan dan dosa-dosa yg dilakukan manusia (bi sababi ma’ashi al-naas wa dzunu bihim)”. Maksiyat adalah setiap bentuk pelanggaran terhadap hukum Allah, yakni melakukan yg dilarang dan meninggalkan yg diwajibkan. Dan setiap bentuk kemaksiyatan pasti menimbulkan dosa.
Selama ini, terbukti di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, banyak sekali kemaksiatan dilakukan. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Sementara dalam urusan sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan.
Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yg jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yg kapitalistik, perilaku politik yg oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yg egoistik dan individualistik, sikap beragama yg sinkretistik serta paradigma pendidikan yg materialistik.
Dalam tatanan ekonomi kapitalistik, kegiatan ekonomi digerakkan sekadar demi meraih perolehan materi tanpa memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan Islam atau tidak. Aturan Islam yg sempurna dirasakan justru menghambat. Sementara dalam tatanan politik yg oportunistik, kegiatan politik tidak didedikasikan untuk tegaknya nilai-nilai melainkan sekadar demi jabatan dan kepentingan sempit lainnya.
Dalam tatanan budaya yg hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat ke arah mana “kemajuan” budaya harus diraih. Kesanalah dalam musik, mode, makanan, film, bahkan gaya hidup ala Barat orang mengacu. Buah lainnya dari kehidupan yg materialistik- sekuleristik adalah makin menggejalanya kehidupan sosial yg egoistik dan individualistik. Tatanan bermasyarakat yg ada telah memberikan kebebasan yg seluas-luasnya kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Koreksi sosial hampir-hampir tidak lagi dilihat sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat.
Sikap beragama sinkretistik intinya adalah menyamadudukan semua agama. Paham ini bertumpu pada tiga doktrin: (1) Bahwa, menurut mereka, kebenaran agama itu bersifat subyektif sesuai dengan sudut pandang setiap pemeluknya; (2) Maka, sebagai konsekuensi dari doktrin pertama, kedudukan semua agama adalah sama sehingga tidak boleh saling mendominasi; (3) oleh karena itu, dalam masyarakat yg terdiri dari banyak agama, diperlukan aturan hidup bermasyarakat yg mampu mengadaptasi semua paham dan agama yg berkembang di dalam masyarakat. Sikap beragama seperti ini menyebabkan sebagian umat Islam telah memandang rendah, bahkan tidak suka, menjauhi dan memusuhi aturan agamanya sendiri. Sebagian umat telah lupa bahwa seorang Muslim harus meyakini hanya Islam saja yg diridhai Allah SWT.
Sementara itu, sistem pendidikan yg materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yg sekaligus menguasai iptek. Terdapat kesan yg sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu hal yg berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh oleh standar nilai agama. Kalaupun ada hanyalah etik (ethic) yg tidak bersandar pada nilai agama. Sementara, pembentukan karakter siswa yg merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius.
Jauh sebelumnya, bahkan Hilliard (1966) — penulis masalah kekristenan dalam pendidikan (Christianity in Education) – seperti yg dikutip oleh Husain dan Asharaf (1994) dalam buku Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, secara transparan telah menjelaskan bahwa sekulerisasi pendidikan memang telah meruncing dan akhirnya benar-benar terbentuk di barat pada abad ke-15 dan 16, yakni ketika terjadi pemisahan cabang-cabang ilmu sekuler dengan cabang-cabang ilmu yg bersumber dari agama. Cabang-cabang ilmu sekuler dinyatakan terputus kaitannya dengan persoalan ilahiyah dan sumber dari cabang-cabang sekuler dinyatakan sebagai akal manusia semata yg tidak perlu dihubungkan dengan agama.
Sekulerisasi ini terus berproses dan akhirnya mendorong munculnya cabang-cabang ilmu pengetahuan yg dikategorisasikan pada tahun 1957 oleh para rektor universitas-unversitas Amerika sebagai “Ilmu-ilmu Sastra, Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu-ilmu Alam”. Penggolongan ini yg kemudian menjadi populer tidak hanya di Amerika dan Eropa tetapi juga di dunia Muslim. Bahkan, dalam perencanaan kurikulum untuk unviersitas-universitas Amerika, ilmu bernuansa agama tidak dimasukan ke dalam pengajaran wajib. Para siswa hanya diharapkan mempunyai pengetahuan dasar mengenai ketiga cabang tsb.
Pendidikan yg materialistik memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yg serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yg bersifat non materi. Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yg telah ditanam oleh orang tua siswa. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yg setara dengan nilai materi yg telah dikeluarkan.
Agama ditempatkan pada posisi yg sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yg pada faktanya bernilai materi juga.
Pengamatan secara mendalam atas semua hal di atas, membawa kita pada satu kesimpulan yg sangat mengkhawatirkan bahwa semua itu telah menjauhkan manusia dari hakikat kehidupannya sendiri. Manusia telah dipalingkan dari hakikat visi dan misi penciptaannya.
AKAR PERMASALAHAN
Akar permasalahan mendasar dari berbagai krisis yg tengah kita hadapi adalah tegaknya sistem kehidupan sekuler. Tatanan ekonomi yg kapitalistik, perilaku politik yg oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yg egoistik dan individualistik, sikap beragama yg sinkretistik dan paradigma pendidikan yg materialistik serta sisi kehidupan sekuler lainnya sebagaimana yg telah dipaparkan sebelumnya sebenarnya hanyalah buah atau merupakan problema-problema cabang yg muncul dari diterapkannya sistem kehidupan sekuleristik tadi.
Sekulerisme oleh Muhammad Qutb (1986) dalam bukunya Ancaman Sekulerisme, diartikan sebagai iqomatu al hayati ‘ala ghayri asasin mina al-dini, yakni membangun struktur kehidupan di atas landasan selain agama (Islam). Pemikiran sekulerisme itu sendiri berasal dari sejarah gelap Eropa Barat di abad pertengahan. Saat itu, kekuasaan para agamawan (rijaluddin) yg berpusat di gereja demikian mendominasi hampir semua lapangan kehidupan, termasuk di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Para ilmuwan dan negarawan melihat kondisi ini sebagai suatu hal yg sangat menghambat kemajuan, sebab temuan-temuan ilmiah yg rasional sekalipun tidak jarang bertabrakan dengan ajaran geraja yg dogmatis. Galileo Galilei dan Copernicus yg menolak mengubah pendapatnya bahwa mataharilah yg menjadi sentra perputaran planet-planet (heliosentris) dan bukan bumi (geosentris) sebagaimana yg didoktrinkan gereja selama ini, akhirnya dihukum mati. Maka sampailah para ilmuwan dan negarawan itu pada satu kesimpulan bahwa bila ingin maju, masyarakat harus meninggalkan agama; atau membiarkan agama tetap di wilayah ritual peribadatan sementara wilayah duniawi (politik, pemerintahan, iptek, ekonomi, tata sosial dan lainnya) harus steril dari agama. Inilah awal munculnya pemahaman sekulerisme.
Tetapi, satu hal yg harus diperhatikan benar adalah bahwa gugatan yg menyangkut eksistensi atau peran agama di tengah masyarakat ini sebenarnya terjadi khas pada agama Kristen saja yg ketika itu memang sudah tidak lagi up to date. Karenanya, menjadi suatu kejanggalan besar bila gugatan tadi lantas dialamatkan pula pada Islam, agama yg sempurna lagi paripurna dan diridloi Allah SWT bagi seluruh umat manusia.
Islam jelas tidak mengenal pemisahan antara urusan ritual dengan urusan duniawi. Shalat adalah ibadah yg merupakan bagian dari syariat dimana seluruh umat Islam harus terikat sebagaimana keterikatan kaum muslimin pada syariat di bidang yg lain, seperti ekonomi dan sosial politik. Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah, karena Islam adalah sebuah totalitas. Merupakan tindak kekufuran bagi seorang muslim bila beriman kepada ajaran Islam sebagian dan menolak sebagian yg lain. Oleh karena itu, benar-benar sangat aneh jika umat Islam ikut-ikutan menjadi sekuler.
SOLUSI FUNDAMENTAL
Mengingat beratnya persoalan atau krisis yg dihadapi, maka semua itu hanya mungkin dihadapi melalui solusi yg paradigmatik dan integral. Mengapa? Harus secara paradigmatik oleh karena semua problema yg ada sesungguhnya berpangkal sistem yg terlahir dari pandangan hidup yg salah, yaitu sekulerisme.
Sekulerisme memang nyata-nyata bertentangan dengan Islam, mengingkari fitrah tauhid manusia dan bertentangan dengan akal sehat. Berbagai problema tadi juga menghendaki solusi yg integral oleh karena kerusakan yg terjadi telah menyentuh semua sendi kehidupan manusia. Penyelesaian yg parsial hanya tidak akan menyelesaikan secara tuntas berbagai krisis itu. Bahkan sebaliknya bisa memicu problema baru yg mungkin tidak kalah gawatnya. Solusi paradigmatik dan integral yg dimaksud tidak lain adalah dengan cara menegakkan kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang pendidikannya, berlandaskan pada aturan syariat Islam.
Pendidikan yg materialistik adalah buah dari kehidupan sekuleristik yg terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yg utuh, yakni seorang Abidus Shalih yg muslih. Kegagalan untuk membentuk manusia sesuai dengan visi dan misi penciptaannya ini menandai kelemahan paradigmatik dari sistem pendidikan yg ada. Hal ini disebabkan oleh dua hal.
Pertama, paradigma pendidikan yg keliru. Dalam sistem kehidupan sekuleristik asas penyelenggaraan pendidikan adalah juga sekuleristik. Sehingga menjadi suatu hal yg tak dapat dihindari jika tujuan pendidikannya pun adalah juga buah dari paham sekuleristik tadi, yakni sekadar membentuk manusia-manusia yg berpaham materialistik dan serba individualistik.
Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yaitu (1) kelemahan pada lembaga pendidikan yg tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah sesuai dengan kehendak Islam, (2) faktor keluarga yg tidak mendukung, dan (3) faktor masyarakat yg tidak kondusif.
Karena itu pula, pada ranah paradigmatik, penyelesaian problem pendidikan secara Islami hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh melalui perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Sementara pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.
Solusi pada Tataran Paradigmatik.
Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam. Dalam pendidikan Islam, aqidah Islam harus menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru serta budaya sekolah yg akan dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yg lain, penyediaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas.
Paradigma baru yg berasaskan pada aqidah Islam ini harus berlangsung secara berkesinambungan pada seluruh jenjang pendidikan yg ada, mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi. Sementara orientasi keluaran (output) dari pendidikan Islamnya tercermin dari keseimbangan pada ketiga unsurnya, yakni: pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah), penguasaan tsaqofah Islam dan ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan). Bila dalam orientasi keluaran dari pendidikan yg sekuleristik ketiga unsur tsb terpisah satu sama lain dan diposisikan berbeda dimensi (agama – non agama) dengan proporsi sangat tidak seimbang yg menyebabkan kegagalan pembentukan karakter dan kepribadian siswa selama ini, maka untuk mendekati orientasi pendidikan yg ideal (integralistik), ketiga unsur tsb harus merupakan satu kesatuan yg utuh.
Berbasis pada kondisi obyektif pendidikan saat ini, maka yg diperlukan adalah langkah optimasi pada muatan pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqofah Islam serta mempertahankan atau meningkatkan muatan ilmu kehidupan dan keterampilan sebagaimana yg sudah ada sekaligus mengintegrasikan ketiganya.
Solusi pada Tataran Strategi Fungsional, Pendidikan Alternatif.
Secara faktual, pendidikan melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Fakta hari ini yg terjadi adalah Sinergi Pengaruh Negatif, menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan saat ini, dimana ketiga unsur pelaksana tsb belum berjalan secara sinergis disamping masing-masing unsur tsb belumlah berfungsi secara benar. Karena di tengah masyarakat terjadi interaksi antar ketiganya, maka kenegatifan masing-masing itu juga memberikan pengaruh kepada unsur pelaksana pendidikan yg lain. Maksudnya, buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah dan menambah keruwetan persoalan di tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba dsb. Sementara, situasi masyarakat yg buruk jelas membuat nilai-nilai yg mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah menjadi kurang optimum. Apalagi bila pendidikan yg diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tsb.
Kelemahan strategi fungsional terjadi pada tiga unsur pendidikan, yaitu (1) faktor kelemahan lembaga pendidikan yg tercermin dari kacaunya kurikulum, tidak berfungsinya guru dan tidak berjalannya proses belajar mengajar serta belum tumbuhnya budaya lingkungan sekolah sesuai dengan kehendak Islam, (2) faktor keluarga yg tidak mendukung, dan (3) faktor masyarakat yg tidak kondusif.
Kacaunya kurikulum berawal dari asasnya yg sekuler, kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yg tidak memberikan ruang semestinya kepada proses penguasaan tsaqofah Islam dan pembentukan kepribadian Islam. Tidak berfungsinya guru dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru yg sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak lagi sebagai pendidik yg berfungsi mentransferkan ilmu pengetahuan berikut kepribadiannya (transfer of personality), karena memang kepribadian guru tidak lagi pantas diteladani. Lingkungan fisik sekolah yg tidak tertata dan terkondisi secara Islami (ditambah dengan minimnya sarana pendukung, seperti masjid/mushola) telah menumbuhkan budaya yg tidak memacu pada proses pembentukan kepribadian siswa. Akumulasi kelemahan pada unsur sekolah itu menyebabkan tidak optimalnya pencapaian tujuan pendidikan yg diidealkan.
Begitu pula halnya dengan kelemahan pada unsur keluarga. Hal ini tampak dari lalainya para orang tua untuk secara sungguh-sungguh menanamkan dasar-dasar keislaman yg memadai kepada anaknya. Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orang tua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan.
Kelemahan yg terjadi pada unsur masyarakat tampak dari berkembangnya sistem nilai sekuler yg tampak dari tata pergaulan sehari-hari yg bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media masa yg cenderung mempropagandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat.
Kelemahan pada unsur keluarga dan masyarakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yg terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik.
Sementara — sesuai dengan arahan Islam — pendidikan seharusnya dapat mengkondisikan anak didik dalam pengaruh yg positif dari semua unsur pelaksana pendidikan, Sinergi Pengaruh Positif, agar arah dan tujuan pendidikan tercapai.
Kondisi tidak ideal seperti diuraikan di atas harus diatasi. Skema solusi optimal yg berangkat dari kondisi obyektif saat ini. Solusi strategi fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu pola pendidikan alternatif yg bersendikan pada dua cara yg lebih bersifat strategis dan fungsional, yakni:
Pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan dengan semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) kurikulum yg paradigmatik, (2) guru yg amanah dan kafaah, (3) proses belajar mengajar secara Islami, dan (4) lingkungan dan budaya sekolah yg optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yg ada dan pada saat yg sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yg diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam.
Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah – keluarga – masyarakat inilah yg akan menjadikan pribadi anak didik yg utuh sesuai dengan kehendak Islam.
Catatannya, jangan pernah berhenti dan merasa cukup dengan Solusi pada Tataran Strategi Fungsional, Pendidikan Alternatif. Ingatlah selalu bahwa kita semua masih hidup di alam yang sekuler. Alam yg tidak kompatibel dengan kehidupan Islam. Alam yang tidak diridloi Allah Swt. Karenanya sembari menjalankan solusi pada tataran ini, kita juga harus dengan sungguh-sungguh berjuang agar sistem hidup sekuler ini bisa ditinggalkan dan digantikan oleh sistem hidup Islam yg sesungguhnya. Sehingga Solusi pada Tataran Paradigmatik bisa ditegakkan sempurna. Berjuang dengan apa? Dengan terus mendakwahkan Islam Rahmatan lil Alamin, Islam yang kaaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Sumber lengkap : MI Yusanto dkk. Menggagas Pendidikan Islam, Bogor : Al Azhar Press, 2014 (terbit pertama 2003).
Pesan Cinta dari Allah Swt :
- Satukan frekuensi antara Keluarga dan Sekolah (juga Masyarakat) Dalam Mendidik Anandas agar Anandas Memiliki Syakhsiyyah Islam yg Baik, Tsaqofah Islam yg Memadai dan Ilmu Kehidupan yg Handal.
- Sekolah, Keluarga dan Masyarakat Harus Dapat Memberi Teladan Positif Bagi Anandas.