Persatuan adalah perkara amat penting untuk menggapai kemenangan dan bertahan dari segala ancaman dan serangan.
Bagi umat Islam, ini kewajiban dari Allah Tuhan Sesmesta Alam.
وَاِنَّ هٰذِهٖٓ اُمَّتُكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّاَنَا۠ رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ
“Sungguh umat kalian ini adalah satu umat. Aku adalah Tuhan kalian. Karena itu bertakwalah kalian (kepada-Ku)” (QS al-Mukminuun [23]: 52).
Dan saat ini, persatuan Umat umat Islam belum terwujud. Hari ini kita masih tersekat-sekat oleh nasionalisme, sehingga Palestina dan Rohingya menderita. Kita masih tersekat oleh kepentingan kelompok dan partai, sehingga suara kita diperebutkan dan setelah itu kita ditinggalkan tanpa keberpihakan. Hari ini kita masih membatasi diri dengan madzhab sehingga begitu gampang mengkafirkan sesama muslim.
Maka kita tengok bagaimana salah kisah satu pendahulu kita dalam mempersatukan umat.
Sosok pemimpin yang lahir bukan dari bangsa Arab namun bisa menyatukan dunia Islam. Terlahir dari keluarga yang harus berpindah dari kampung halamannya namun memiliki cita-cita besar. Dan ia bersungguh-sungguh mewujudkan cita-cita itu.
Sosok yang tumbuh dari keluarga bertaqwa dan memiliki semangat ibadah dan membela agama Islam yang kemudian menitis kepada sang Anak. Meski ia hidup dalam alam dunia Islam yang mulai surut dari Semangat jihad, perbedaan madzhab makin melebar. Kekuatan kekhilafahan Abbasiyah semakin menurun. Dan dominasi kekuatan pasukan Salib setelah berhasil merebut Baitul Maqdis makin menjadi ancaman.
Namun bekal pendikan dari kedua orang tua dan gurunya menjadikan ia memiliki cita-cita mulia hingga akhirnya terwujud. Dialah Shalahuddin Al Ayyubi.
Dalam buku “Uluww al-Himmah” (Hal: 316) karya Muhammad Ahmad Ismail Muqaddam, Al-Qadhi bin Syaddad menggambarkan dengan sangat baik cita-cita agung Shalahuddin, “Bagi Shalahuddin, masalah Al-Aqsha adalah perkara amat besar yang tak kan mampu ditanggung gunung sekalipun.
Kehilangan Al-Aqsha bagi beliau laksana seorang ibu yang kehilangan anak yang berkeliling sendiri untuk mencari anaknya. Beliau memotivasi umat Islam untuk berjihad (merebut kembali Masjidil Al-Aqsha), seraya berkeliling melibatkan diri secara langsung untuk menemukannya, seraya berujar, ‘Wahai umat Islam!’ pada waktu bersamaan, kedua matanya basah dengan air mata.”
Singkat cerita, Shalahuddin Al Ayyubi berhasil menyatukan kaum muslimin di Mesir yang saat itu dikuasai oleh Kesultanan Fatimiyyah yang tidak sejalan dengan Abbasiyah. Sedangkan Al Ayyubi tetap taat kepada Abbasiyah.
Dua pemberontakan berhasil dikalahkan. Sehingga membuat Petinggi Fatimiyyah saat itu, Al Adid meminta Shalahuddin Al Ayyubi untuk menjadi wazir baginya. Tidak hanya bebeda haluan politik, namun kesultanan Fatimiyyah juga bermadzhab Syi’ah, sedangkan Al Ayyubi bermadzhab Sunni.
Shalahuddin mengesampingkan segala perbedaan ini, dia berfokus pada cita-cita dan misi hidupnya, yaitu membebaskan Al Aqsha dari pasukan Salib. Dan ini bisa berpeluang besar dengan cara menyatukan Kaum Muslimin di Mesir dan melalui negeri ini adalah pintu masuk ke Al Aqsha.
Ia melakukan segala pergerakan yang visioner untuk dapat masuk ke Yerussalem. Sebab jika pintu utama ini tidak diperbaiki maka mustahil kemenangan akan bisa diraih.
Tidaklah mudah bagi sorang Sunni yang diangkat menjadi pemimpin bagi orang-orang Syi’ah, terlebih Haluan politiknya berbeda.
Ada 2 hal yang dilakukan Shalahuddin, pertama ia terus merapat bersama umat untuk membenahi iman dan aqidahnya. Ini sangat penting tidak hanya untuk Mesir tapi juga wilyah Syam hingga sekitarnya.
Langkah pertama ini, Shalahuddin mendirikan madrasah-madrasah serta menggiatkan dahwah.
Yang kedua, ia mewujudkan persatuan di wilayah Mesir. Muslimin Sunni dan Syi’ah tidak dibenturkan.Tak hanya di Mesir, namun kesutanan-kesutanan kecil di wilayah Syam juga ia persatukan.
Ini adalah syarat utama, jika kaum muslimin ingin mencapai kemenangan maka ia wajib bersatu.
وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوَٰنًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. [Ali Imran: 103]
Yang ketiga, Shalahuddin menjalankan politik praktis yang sangat lembut dan santun di hadapan penguasa Mesir Fathimiyah. Bagaimanapun ia adalah seorang mentri yang dipercaya oleh Al-Adid. Namun di sisi lain Shalahuddin adalah juga utusan Kekhilafahan Abbasiyah melalui Nuruddin Zanki.
Waktu itu, Nuruddin Zanki yang berkedudukan di Alepo, memerintahkan kepada Shalahuddin agar segera mengumumkan bahwa Mesir sudah tunduk dan kembali ke pangkuan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.
Meski Demikian Shlahuddin tidak serta-merta melaksanakannya. Beliau mengindari terjadinya pergolakan yang kemungkinan akan terjadi di Masyarakat. Karena jika terjadi pergolakan, persatuan yang sudah mulai terbangun akan terancam.
Shalahuddin Al Ayubi menggunakan cara yang amat cerdas. Yaitu memerintahkan para khatib Shalat Jum’at mendoakan para pemimpin Abasiyah untuk mengetahui kesiapan dan penerimaan Masyarakat terhadap hal ini. Ternyata sedikit sekali pergolakan yang muncul.
Kemudian Shalahudin mengumpulkan para ulama Sunni dari berbagai madzhab dan meminta mereka agar tidak bertikai satu sama lain hanya karena perbedaan madzhab. Meeka juga diminta utuk mendirikan madrasah-madrasah agar Masyarakat dapat menimba ilmu.
Shalahuddin juga mengadakan pertemuan-pertemuan ulama lintas madzhab untuk menjaga persatuan dan kerukunan.
Menariknya lagi, di Mesir yang dibesarkan adalah madzhab Syafi’i. Padahal pemimpinnya di Alepo bermadzhab Hanafi. Ini merupakan pelajaran mahal bagi kita betapa persatuan itu di atas perbedaan-perbedaan madzhab.
Hingga kemudian Shalahuddin dengan pasukan kaum muslimin berhasil menaklukkan Yerussalem dimana setelah di lebih dari 80 tahun dikuasai oleh pasukan Salib. Meninggikan agama Allah di bumi para Nabi itu, membebaskan rakyatnya dari kedzaliman dan kerakusan penguasa. Tercapailahcita-cita dan misi hidup Shalahudin.
Shalahudin dikenal sebagai Sosok yang murah hati dan peduli terhadap keadaan Masyarakat. Hingga pada saat jasad pejuang ini meninggal, ia hanya meninggalkan sekeping emas dan 14 keping perak, sedangkan hartanya yang lain telah dibagikan kepada rakyat yang lebih membutuhkan.
Ada Ibrah yang bisa kita petik di sini:
- Agama Allah ini akan menang jika umat Islam Bersatu
- Umat Islam bisa Bersatu jika mereka telah kembali kepada Aqidah yang benar yang membangkitkan pemikiran dan mendakwahkannya
- Umat bisa Bersatu jika mereka mengesampingkan perbedaan-perbedaan madzhab dan ambisi politik
- Menjadi pemersatu dibutuhkan pengorbanan
- Dan orang yang telah memiliki visi sebagai pemersatu umat dengan keiman dan ketaqwaannya, maka dialah yang akan bisa menolong agama Allah, dialah calon-calon pemimin Ansharullah, sebagaimana Shalahddin Al Ayyubi.
Dan Khatib berdoa semoga itu adalah kalian… [eac]