JADI SAKSI KEHIDUPAN SANTRI DI PAGI HARI

0
1186

Alhamdulillahilladzi ahyana ba’dama amatana wailaihinnusuur….ayyuha ath-thulaab wa ath-thoolibaat….istaiqidzuu..istaiqidzuu…min naumikum….,” demikianlah suara Mudir IBS Insantama Muhibbuddin yang terdengar melalui pengeras suara boarding, memecah keheningan malam di sepertiga malam terakhir di Rabu pagi itu membuat Kabar Insantama pun terbangun. Ustadz Muhib, begitu sapaan akrabnya,  mengulangi beberapa kali hingga ada beberapa santri yang sudah mulai keluar kamarnya.

Tidak lupa, Ustadz Muhib pun menyuruh Yusuf, salah satu muaddib, yang masih nyangkerek  (bersandar malas-malasan karena masih mengantuk) di atas kettler-nya, untuk membukakan pintu gerbang yang semalam sudah dikunci. Sementara itu, Pak Palawi mulai menyalakan sound system boarding yang mic-nya sudah rusak lebih dari seminggu yang lalu, sembari menggerak-gerakan jempolnya mencari-cari file murotal Misyari Rasyid di smart phone. Setelah menemukan surat favoritnya, dia lalu memasukan kabel sound yang sudah ada di tangannya itu ke lubang headset smart phone miliknya.

Lantunan murotal Misyari Rasyid yang merdu itu pun bergema di seluruh gurfah (kamar) dan menelusuk qolbu setiap santri, membawa ketenangan dan rasa damai dalam setiap jiwa. Sehingga mereka terdorong untuk bertaqorrub kepada Dzat yang telah menghidupkan mereka kembali, Allah ‘azza wa jalla.

Sebagaian santri dan beberapa muaddib terlihat keluar dari kamarnya masing-masing sambil berjalan totolonjongan (terhuyung-huyung) ke kamar mandi karena masih lulungu (kondisi baru bangun tidur) alias belum ngumpul. Rasa kantuk itu perlahan menghilang ketika kaki mereka menginjak lantai kamar mandi yang basah dan dingin itu. Apalagi pada saat setelah mandi dan wudlu, rasa kantuk itu akan hilang seketika.

Beratnya Melawan Kantuk

Selanjutnya mereka memakai sarung, baju koko/gamis yang tergantung rapi di gantungan baju. Tak lupa mereka memakai peci dan membawa buku ta’lim untuk hari ini. Baru setelah itu mereka berangkat ke Auditorium untuk melaksanakan shalat tahajjud dan shalat subuh.

Mungkin saking tenangnya jiwa, ada juga di antara santri itu yang malah menarik selimutnya kembali meneruskan tidur nyenyaknya, walaupun sudah dibangunkan oleh rais qismnya. Mereka ingin mencoba menguji kesabaran tim Aksi OSIS dalam membangunkan mereka. Ada-ada saja yang dilakukan santri ini untuk menguji kesabaran.

“Ada yang ketika dibangunin, dia bangun, namun jika ditinggal, eh..tidur lagi, bahkan ada juga yang sengaja tidur di bawah kasur agar bisa sembunyi dari petugas,” demikian keluh salah satu tim Aksi OSIS.

Namun, mereka yang tidak bermasalah, sebenarnya sangat seneng di bangunkan oleh tim Aksi. “Soalnya kan saya bisa sholat tahajjud Pak,” aku Syukran Mahmud (17 tahun), santri boarding.

Sebagian santri ada juga yang terlihat sedang makan sahur bersama. Hari ini jadwal mereka saum daud. Di sebelah mereka ada termos nasi yang masih tertutup. Saat di tanya, kenapa nasinya tidak dimakan, “Nasinya sudah basi Pak, ini sisa nasi goreng semalam ada sayurnya, jadi ga kemakan.”

Di kamar lain, Bagas (17 tahun), salah satu tim Aksi OSIS, biasanya sudah bangun duluan bahkan sebelum pengumuman dari Ustadz Muhib. Setelah bangun, dia lalu menghidupkan semua lampu kamar, membangunkan BPH OSIS dan tim Aksi lainnya yang berjumlah 7 orang.

Sebelum berkeliling memastikan seluruh santri sudah bangun dan ngambil wudlu, tim Aksi ini biasanya melaksanakan qiyamul lail secara bergantian di kamar. Setelah selesai, mereka lalu bagi-bagi tugas; 2 orang bertugas di lantai 3 (kamar SMA), 3 orang bertugas di lantai 2 (kamar SMP).

Lantas, kenapa yang bertugas di kamar SMP lebih banyak dari pada yang bertugas di SMA? Bagas menjawab, “SMP lebih susah dibangunin, soalnya mereka rata-rata tidur malam, Pak.”

Tugas para petugas itu antara lain, memastikan semua santri bangun, berangkat ke auditorium/aula dan mencatat santri-santri yang tidak berangkat ke auditorium/aula karena alasan sakit dan sebagainya. Baru setelah itu mereka berangkat ke auditorium/aula untuk shalat subuh berjamaah.

Sesekali beberapa muaddib pun ikut terlibat dalam membangunkan santri. Biasanya, yang pertama kali ditanya adalah, apakah amir gurfahnya sudah bangun. Jika sudah bangun, apakah mereka sudah memastikan rais qism di bawah mereka juga sudah bangun, dan jika masih ada yang tidur, maka yang akan ditanya terlebih dulu adalah siapa rais qismnya, yang masih membiarkan anggotanya belum terbangun.

Secara bergerombol atau sendiri-sendiri para santri itu menuju auditorium. Walaupun sebagiannya ada yang nyeker, alias tidak memakai alas kaki karena alasan hilang atau di-ghosob, mereka masih berjalan cepat-cepat, padahal jalan menuju auditorium banyak kerikilnya, soalnya jika telat, mereka akan dicatat tim Aksi, dan urusannya bisa ga diizinkan keluar saat hari Ahad.

Sementara itu, di auditorium, Taufiq (18 tahun), tim Aksi, sudah lebih dulu tiba di auditorium. Dia mempersiapkan sound portable yang dipinjam dari SMA, untuk dipakai saat shalat jamaah. Masih ada waktu sekitar 15 menit-an lagi sebelum adzan subuh. Sehingga masih ada waktu bagi yang baru datang untuk melaksanakan beberapa rakaat qiyamu lail. Sebagian santri terlihat ada yang sedang tilawah, namun sebagian besarnya duduk tertunduk tidur,  “mengikuti sunnah, Pak,” kilahnya sambil senyum.

Sementara itu di asrama, Ustadz Rakha mengunci gerbang asrama hingga selesai ta’lim pukul 06.00. Pintu gerbang ini tidak akan dibuka sebelum waktu ta’lim selesai atau memang pagi itu tidak ada ta’lim pagi, pintu gerbang bisa dibuka walaupun sebelum pukul 06.00 pagi.

Adzan subuh pun berkumandang. Petugas adzan digilir setiap harinya di antara santri. Sebagian santri masih terlihat lelap dalam kantuknya. Malah ada di antaranya yang mulutnya terbuka karena tidur senderan dengan posisi kepala mendongak ke atas. Baru setelah Ustadz Muhib bilang, “quumuu qiyaman, sholluu…sholluu” rasa kantuk santri itu pun lari sejenak, namun cukup mendorong mereka untuk berdiri shalat 2 rakaat qabliyah subuh, sayangnya di saat shalat, rasa kantuk itu datang lagi.

Santri yang masih tertidur “dipaksa” bangun oleh muaddibnya, yang sengaja selalu sholat di shaf paling belakang dengan cara disuruh wudlu kembali. Beberapa saat kemudian, iqomah pun dikumandangkan. Para santri sudah  mampu merapikan shafnya masing-masing. Nah, ketika dicek tidak ada santri yang telat untuk shalat berjamaah, begitu girangnya perasaan Bagas ketika itu. Saat ditanya apa yang membuat antum bahagia di pagi itu, Bagas menjawab, “ketika tidak ada santri yang telat datang ke auditorium untuk sholat subuh berjamaah.”

Sebelum takbirotul ihram, imam shalat bertanya siapa yang tidak memakai peci, “man laa yasta’mil qolansuwata, fal yataqoddam?” Para santri yang tidak memakai peci sudah hafal benar kalimat ini, bahkan mereka pun sudah paham konsekwensinya, yakni di suruh push up. Namun itu dulu, akhir-akhir ini santri yang tidak memakai peci sudah sangat jarang. Memang, mereka tidak dsuruh push up, akan tetapi hanya dicatat. Namun hukumannya, hari Ahad bisa tidak diizinkan keluar atau tidak diizinkan menggunakan HP dan laptop.

Sepertinya mereka lebih tahan dihukum dengan disuruh push up di bandingkan dengan tidak diizinkan memakai laptop atau HP. Demikian pula halnya dengan hukuman bagi yang terlambat saat datang ke auditorium. Sehingga saat ini para santri jauh lebih disiplin dari pada sebelumnya.

Selesai shalat subuh mereka lalu berdzikir dan berdo’a dengan yang sudah ditetapkan di boarding. Pemimpin dzikir dan do’a di gilir setiap harinya, sehingga semua santri akan memiliki pengalaman pernah memimpin dzikir dan do’a.

Mengikuti Taklim  

Sebelum seluruh santri ini berangkat ke kelasnya masing-masing untuk ta’lim, tim Qafi OSIS, sudah mempersiapkan beberapa kosakata (mufradat) untuk dihafalkan di hari itu.  Biasanya ada tiga kosakata, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Arab. Ada petugas yang berdiri di depan untuk mencontohkan cara pengucapannya dan tulisannya untuk diikuti oleh seluruh santri.  Kosa kata ini harus di catat di buku saku mufrodat mereka serta dihafalkan oleh seluruh santri untuk kemudian disetorkan pada malam harinya kepada tim Qafi.

Ustadz Muhib kemudian mempersilahkan seluruh santri untuk menuju kelas ta’limnya masing-masing, “idzhabuu ila fushuulikum li ta’lim…!” kecuali gurfah yang hari itu giliran merapikan dan membersihkan auditorium. Gurfah tersebut harus merapikan mushaf, menggulung karpet dan memastikan tidak ada sampah yang tercecer di sana. Baru setelah itu mereka berangkat ke kelasnya masing-masing untuk mengikuti ta’lim.

Karena ini adalah hari Rabu, untuk kelas 11 ta’limnya digabung ikhwan-akhwat di kelas 11 ikhwan. Selama 45 menit-an ke depan mereka akan mengikuti ta’lim Capita Selecta bersama  Direktur Pendidikan YIC Muhammad Rahmat Kurnia. Ustadz Rahmat Kurnia, begitu biasa ia disapa, meminta untuk ta’lim di kelas tidak di aula atau auditorium karena memakai sarana infokus dalam menyampaikan materinya.

Sekitar 45 menit kemudian ta’lim pun selesai. Sebagian santri kembali ke asrama untuk melaksanakan piket hariannya. Namun sebagiannya lagi ada juga yang langsung menuju ke tempat makan untuk sarapan. Di tempat yang nyaman itu sudah ada dua petugas yang mengambilkan lauknya, sementara nasinya diambil sendiri oleh para santri.

Berbeda halnya saat hari-hari puasa, Senin dan Kamis. Setelah ta’lim para santri ini langsung ke kamarnya masing-masing. Ada yang langsung mengerjakan piketnya, namun sebagian besar untuk tiduran lagi.

Sementara itu, santri yang hari ini ada tugas piket, mereka harus mengerjakan tugas mereka. Amir gurfah memastikan piket ini berjalan. Jika ada santri yang di kamarnya tidak piket, maka dia diperingatkan atau di laporkan ke muaddib/h nya. Beberapa muaddib ada juga yang berkeliling memastikan piket ini berjalan. Membangunkan santri yang tertidur sehabis ta’lim, memastikan seluruh santri sarapan, menanyakan adakah di antarnya santri yang sakit dan sebagainya.

Sebagiannya lagi  ada yang lagi nunggu antrian di tangga dekat kamar mandi, sambil sesekali teriak ke temannya yang di dalam kamar mandi, “cepetan dong, tadi antum nyelak, ana ga ridha ya…” Seorang muaddib yang kebetulan lewat bilang, “Antum ngapain nunggu di sini? Kan di bawah masih kosong, mandi sana di bawah…”

Beberapa santri tampak ngantri di kantor boarding, di antara mereka ada yang minta izin memakai laptop, minta surat izin tidak memakai seragam di hari itu, izin, makan untuk buka puasa, ada yang minta obat dan sebagainya. Sementara Ustadz Rakha sejak tadi teriak-teriak, “cepet…cepet…pintu gerbang ditutup 10 menit lagi…”

Kalau telat, mereka tidak diperkenankan ke sekolah dan terpaksa bekerja bersama OB selama seharian. Mau? “Tidaaaak…” Para santri pun berhamburan dari kamarnya masing-masing menuju pintu gerbang agar jangan sampai terlambat.[]