[foogallery id=”768″]
Kembali ke Indonesia di Belanda
Senin, 31 Oktober 2016. Kegiatan kami terbilang cukup padat. Memulai hari dengan harus bangun pukul 03.00 dinihari. Bersih diri, Tahajjud, Tadarrus hingga mengisi waktu untuk menuggu waktu shubuh dengan latihan presentasi. Cukup melelahkan memang. Namun ini juga merupakan suatu banget bagi kami. Terlebih, jetlag masih menggelayuti kami akibat perbedaan waktu yang lebih lambat 6 jam dari waktu di Indonesia. Setiap pagi sehabis sarapan, mereka melakukan pergantian Chief of Delegation (COD) dan evaluasi bersama. Satu hal, “Kita memang tidak menginginkan munculnya problem, namun bila itu ditakdirkan terjadi, maka pemimpin sejati harus berani menghadapi dan menyelesaikannya karena pasti Allah Swt juga sudah menyediakan solusinya”. Allahu Akbar!!!
Terjadwal hari ini kami akan kembali ke Negara Indonesia yang berada di Negara Belanda. Yap, rumah kami di Belanda, KBRI Denhaag.
KBRI Den Haag menjadi singgahan pertama secara formal. Hal ini menjadi hal yang wajib memang. Berkunjung kepada Orangtua kami di sini.
Sesampainya di KBRI Den Haag, Belanda, kami disambut dengan sangat baik oleh protokoler KBRI, Pak June Kuncoro. Setelah dikonfirmasi tentang appointment hari ini, ada sedikit miskomunikasi antara kami dengan pihak KBRI. Ternyata kami belum mengupdate jadwal kedatangan kepada pihak KBRI. Soalnya, kami sudah merasa yakin bahwa KBRI sudah firm sejak awal. Namun, di situlah kami mendapat pelajaran awal tentang inisiatif, speed and responsive sebagai sikap mental yang melekat dalam kata kepemimpinan. Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Prof. Bambang Hari didampingi Bapak June Kuncoro Hadiningrat, sebagai Kepala Bidang Protokol dan Konsuler sigap terhadap hal tersebut. Beliau berdua langsung mengambil aksi tetap menerima kami, menyiapkan penerimaan kami serba cepat dan kami pun tetap mendapat perlakuan istimewa sebagai anak dari Orangtua kami di KBRI. Masya Allah.
Setelah itu kami melakukan presentasi. Kwartet akhwat yang membawakan puisi dilanjutkan kwartet ikhwan melakukan presentasi. Di depan Beliau berdua, kami memberikan suguhan presentasi yang memunculkan semangat membawa Negara Indonesia menjadi lebih baik. Sambutan hangat pun kami dapatkan. Kekaguman mereka terhadap kami muncul setelah mendengarkan penjelasan bagaimana kami ditempa selama 3 tahun hingga akhirnya hari ini dapat menginjakkan kaki di Benua Biru dengan menjadikan sains-teknologi dan Relijiusitas berjalan berdampingan dan saling mengisi relung keduanya. Perjalanan ke Belanda dan Jerman sejatinya untuk membuka cakrawala pikiran dan ilmu pengetahuan. Bahkan Bapak June Kuncoro menyatakan, “Beruntung kalian bisa mengikuti kegiatan seperti ini. Sikap mental dan kemampuan untuk survival seperti ini sangat penting untuk kehidupan kalian di masa depan, apalagi kalian disiapkan untuk menjadi pemimpin masa depan, dan di umur kalian yang masih sangat muda. Kalian luar biasa, beyond our expectation” Masya Allah…
Pak Jun – begitu panggilan akrabnya – banyak bercerita tentang pengalaman beliau berkelana di luar negeri. Selama 20 tahun sudah ditempatkan di berbagai KBRI di dunia. Beliau berpesan, bahwa traveling akan bermanfaat ketika kita bisa mengambil hikmah dan perjalanan, serta jangan lupakan Islam sebagai identitas diri. Teruslah mengkaji Islam, karena dengan mengkaji Islam dapat menjadi benteng dan juga pedoman dalam berkehidupan. Hal serupa pun disampaikan oleh Prof. Bambang. Beliau sangat mengapresiasi program LKMA dalam rangka pembentukan pemimpin bangsa masa depan. Bahkan beliau menyatakan, “Saya percaya kalian sudah digembleng leadership-nya sedemikian rupa di sekolah ini. Melalui program ini, kalian juga digembleng langsung di Negara yang dituju. Program yang luar biasa!!! Semoga dapat menjadi beachmark bagi sekolah unggulan lain di Indonesia, semoga kalian menjadi pemimpin bangsa masa depan!” Beliau sangat bangga dengan kami! Masya Allah.
Setelah bertemu dengan pihak KBRI Den Haag, kami melanjutkan acara berdiskusi dengan perwakilan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda yang diwakili oleh Mbak Kathy dan Mbak Ade. Menjadi pengalaman tersendiri bagi kami mendengarkan lika-liku mereka dalam melakukan studi di Belanda, dari mulai pendidikan, hingga kultur yang sangat berbeda dengan Indonesia. Beliau pun terus berpesan pada kami untuk dapat bersekolah ke luar negeri. Walau dirasa tidak cukup secara finansial, namun banyak beasiswa untuk itu. Terlebih ini menjadi sebuah usaha untuk semakin melebarkan sayap cakrawala pemikiran. Diskusi berlangsung seru. Akhirnya pukul 16.00 waktu setempat, kami pun berpamitan dan kembali ke tempat penginapan.
Sebagaimana kedatangannya, kami kembali dengan berjalan kaki. Menyusuri jalanan kota Denhaag. Menembus kerumunan orang dan tak jarang menjadi perhatian publik yang kami lewati. Banyak yang bertegur sapa dengan kami. Berkali-kali terdengar ucapan ‘masya Allah’ dari khalayak Muslim Belanda yang kami lewati. Kami bersyukur bisa memanfaatkan perjalanan kami untuk syiar. Bahkan kami pun sempat berjumpa dengan polisi yang lugas bertanya pada kami. Kami pun tak membuang kesempatan untuk menjelaskan program kami pada mereka dan setiap orang yang bertanya pada kami. Hasilnya, mereka senang dengan jawaban kami dan tersenyum melihat kami. Sungguh pemandangan yang melegakan hati. Bayangkan saja ada barisan sepanjang 71 meter berseragam rapi menutup aurat dan tidak campur baur berjalan menyibak kerumunan kota Denhaag. Pemandangan yang mengundang perhatian. Allahu Akbar…
Catatan kecil perjalanan bersejarah
Bersambung