”Pak yuk kita panjat tower itu lagi!”, minta Syukria, salah seorang siswi kelas 4 SD kepada saya.
”Ya Pak, seru lho!”, tegas Nurul yang juga seorang siswa akhwat mendukung temannya.
Apalagi siswa ikhwan, sebagian besar mereka sering meminta saya setiap kali kita melewati tower peluncuran tentara milik batalyon Infanteri Angkatan Darat di kota kami. Padahal tower tersebut tidaklah rendah, sekitar 20 meter para anggota TNI selalu menggunakannya untuk latihan ketangkasan repling dan meluncur.
Sekolah kami memang tidak jauh dengan asrama TNI AD. Ketika itu hampir seluruh kompi berangkat ke Aceh untuk melakukan pengamanan di Tanah Rencong yang sedang bergejolak. Sehingga asrama tentara menjadi ’sepi’. Di saat seperti itu saya dan beberapa guru sering meminta izin petugas jaga untuk membawa anak-anak belajar dan berolahraga di dalam area asrama. Dan di sana menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak-anak karena terdapat lapangan hijau yang luas nan bersih, relief muka bumi yang beragam dan sarana latihan perang para prajurit TNI yang membuat anak-anak tertantang untuk melakukan hal yang sama seperti para bapak tentara.
Waktu itu saya baru satu tahun menjadi guru. Semenjak beberapa anak sering meminta kepada saya untuk memanjat tower tentara tersebut, saya jadi terdorong untuk bertanya kepada guru senior tentang kisah mereka yang katanya di kelas satu pernah diajak Pak Ali ramai-ramai memanjat tower itu.
”Iya Pak Ono, waktu itu saya pernah bercerita tentang pengalaman saya selama mengikuti latihan sebagai anggota Resimen Mahasiswa yang dilatih langsung oleh anggota TNI. Bagaimana saya berlatih memanjat kemudian meluncur dari tower yang sedikit lebih tinggi dari tower yang ada di asrama Yonif itu. Rupanya anak-anak terobsesi dengan cerita saya dan ingin mencoba memanjat tower tersebut. Siapa yang berani panjat tower ini maka dia adalah ANAK HEBAT, ANAK PEMBERANI!” jelas Pak Ali, Sang Guru Pioner di sekolah kami.
Kata Pak Ali, ketika mereka baru kelas satu, hampir semua anak berani memanjat tower tersebut sampai di papan tumpupertama yang berada pada ketinggian ± 12 meter dari tanah. Dalam hati saya berdecak heran, sungguh nekad dan berani Sang Guru ini menantang anak-anak yang baru kelas 1 SD untuk melakukan adegan yang beresiko tinggi. Apalagi bagian dasar tower adalah lantai bersemen. ”Bagaimana kalau ada anak yang jatuh? Gila!!”, tanyaku dalam hati.
Tahun-tahun pertama menjadi guru di SDIT Insantama banyak hal yang membuat saya heran dan kagum dengan apa yang dilakukan oleh anak-anak di bawah komando para guru sebelum saya. Hal-hal yang berani, ekspresif, menantang, dan di luar pakem gaya pendidikan yang selama ini saya ketahui. Dan saya merasa menjadi obyek bagi guru senior sekaligus menjadi subyek bagi anak-anak. Mulai dari pertandingan kendo antar guru yang disaksikan oleh anak-anak, belajar di tepi kolam Pak Haji, pertandingan panco guru vs siswa, boleh belajar sambil panjat jendela bahkan belajar di atas mobil jemputan, sampai mengerjakan ulangan di atas tower penampung air sekolah dan ’kebebasan-kebebasan’ lain yang telah mereka lakukan. Dan semuanya menginspirasi saya untuk melakukan hal yang minimal sama, kalau bisa lebih dari itu.
Dan sungguhpun sebelum ini, tidak pernah saya bercita-cita menjadi seorang guru, apalagi guru SD. Namun, anak-anak itu….. dengan kelucuan dan keta’dzimannya telah membuat saya jatuh cinta dengan dunia mereka, meninggalkan tawaran pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmu saya dengan memilih jalan mengikuti jejak langkah Sang Oemar Bakrie. Wis Bismillah….niat ingsun dadi guru…1)
Kini tiba saatnya pelajaran Sains. Agenda kelas 4 adalah belajar tentang “Gaya”. Frase kata yang sangat berbeda dengan apa yang telah mereka pahami selama ini tentang kata “gaya”.
Di whiteboard saya menuliskan kata “GAYA” besar-besar. Spontan Ali Sang Pelipur Lara melenggak-lenggokkan tubuhnya, diikuti oleh Fadhil Peniru Gaya Serba Bisa, dengan menirukan gerakan Sang Peragawan.
“GAYA dalam sains berbeda dengan gaya dalam kehidupan kita sehari-hari. Gaya sehari-hari persis seperti apa yang dilakukan oleh kedua teman Antum.”, sambil saya menunjuk Ali dan Fadhil.
“GAYA dalam sains adalah……..”, saya mencoba membongkar pemahaman mereka.
Satu demi satu demo dan percobaan tentang GAYA telah dilakukan oleh anak-anak. Mulai mendorong meja-kursi, menendang bola basket, memukul kendi sampai pecah, menjatuhkan palu dan kertas di atas tumpukan kursi dan meja, melihat pak guru yang mantan atlet panahan melepaskan anak panah dari busur besarnya, sampai demo mengapung-tenggelam dengan perahu beton 3 Kg vs jarum jahit di akuarium kelas.
Dengan pemahaman yang baru tentang GAYA, mereka telah mendemonstrasikan berbagai macam gaya: gaya tarikan-dorongan, gaya gravitasi bumi, magnet, pegas, dan gaya dorong ke atas pada air. Tanpa terasa hampir satu hari penuh kita bermain dengan gaya!
”Tinggal satu gaya lagi yang belum kita lakukan!”, seru saya di penghujung pembelajaran.
”Gaya yang membuat seorang penerjun payung tidak gampang cepat turun ke bawah. Gaya yang membuat pesawat kertas Antum bisa melayang-layang di udara. Gaya yang diberikan Allah SWT sehingga burung-burung juga bisa mengatur keseimbangannya ketika mereka terbang.”
Anak-anak terdiam… mata mereka nanar menatap saya, menunggu apa gaya yang dimaksud.
“Itulah gaya gesek udara. Dan untuk itu anak-anak sekalian, insya Allah minggu depan kita akan adakan lomba menerbangkan pesawat kertas, seperti ini… shyuut…”, sambil saya menerbangkan pesawat kertas terbesar yang pernah saya buat ke arah anak-anak. Merekapun berebut menangkap pesawat raksasa tersebut.
“Minggu depan setiap anak harus membuat satu model pesawat dari kertas, boleh besar, boleh kecil, dengan hiasan warna-warnanya. Kriteria pemenang lomba adalah pesawat yang paling lama berada di udara dan yang paling bagus hiasannya. Tapi ingat, pesawat harus buatan sendiri, tidak boleh dibantu orang lain. Dan sebagai imbalannya, setiap anak akan menerbangkannya di puncak tower Yonif 315 !”, jelas saya.
“Horeeee…!”, serempak anak-anak berseru sambut penjelasan gurunya.
Kesempatan yang mungkin selama ini mereka nanti-nanti agar bisa memanjat tower tentara itu lagi.
Hari yang dinantipun tiba. Alhamdulillah, setiap anak sudah siap dengan model pesawatnya masing-masing lengkap dengan hiasan warna-warninya. Meskipun ada juga anak yang tidak menghias pesawatnya.
Setelah pelajaran Qiraati, kamipun bersiap berangkat ke medan perlombaan. Hari itu, setiap wajah siswa kelas 4 nampak berseri-seri. Sambil memegang model pesawat kertasnya mereka berbaris dipimpin Amir Kelas.
“Jangan lupa, setiap anak harus membawa minum sendiri dan snacknya juga boleh dibawa karena kita akan lama di Yonif. Dan kita akan berangkat jika barisnya sudah rapi!”, pinta saya di depan barisan anak-anak.
Kebetulan hari itu, saya sendirian meng-handle siswa kelas 4 sebanyak 24 anak tersebut karena partner guru kelas saya tidak masuk sekolah.
Setelah lima menit berjalan, sampailah kita di asrama Yonif. Kamipun menghampiri petugas jaga di pintu gerbang belakang asrama untuk meminta izin masuk dan izin menggunakan tower peluncuran untuk pembelajaran sains. Kamipun diizinkan masuk, akan tetapi izin penggunaan tower harus ke staf lain yang ada di kantor Yonif.
Setelah meminta anak-anak menunggu di bawah tower sambil beristirahat, saya bergegas mencari staf pemegang kewenangan tersebut. Setelah menemukan kantor beliau, sebut saja Pak Ahmad, sayapun menjelaskan maksud pembelajaran sains dan alasan mengapa anak-anak harus memanjat tower peluncuran. Saya meminta agar setiap anak diizinkan manaiki tower. Awalnya Pak Ahmad keberatan kalau harus menggunakan tower peluncuran tertinggi di asrama tersebut. Beliau menyangsikan keamanan dan keselamatan anak-anak. Secara detail beliau menanyakan berapa jumlah guru pendamping dan teknis memanjatnya. Dan untuk yang kesekian kalinya, wajah Pak Ahmad menunjukkan kesangsiannya. Sehingga beliau menawarkan agar menggunakan tower lain yang lebih pendek. Namun saya meyakinkan bahwa insya Allah saya menjamin keselamatan mereka dan bagi setiap anak yang naik, saya akan selalu mengikuti dari bawah atau belakang posisi mereka, karena memang sekolah tidak punya seperangkat tali pengaman. Dalam hati, saya berdo’a kepada Allah agar Dia memudahkan urusan ini, karena saya tidak mau mengecewakan anak-anak jika seandainya mereka tidak jadi menaiki tower peluncuran yang menantang itu…
”Baik, kalau begitu saya izinkan, tapi kami tidak menanggung keselamatan anak-anak.”, tegas Pak Ahmad.
”Ya Pak, terima kasih.”, jawab saya lega sambil langsung menjabat kuat tangan bapak tentara tersebut. Sayapun bergegas kembali ke tempat berkumpulnya anak-anak.
Saya meminta anak-anak berkumpul. Sebelum perlombaan dimulai, saya memastikan kesiapan mental dan fisik mereka. Saya jelaskan aturan menaiki tangga tower dan apa yang harus mereka lakukan ketika sudah sampai di puncak. Saya katakan, ”Perlombaan ini akan gagal jika ada satu saja dari Antum yang cedera, meskipun itu hanya tergores ketika menaiki tangga! Maka pastikan Antum mengikuti petunjuk Pak Ono! Jangan sampai lomba pesawat kita batal gara-gara ada yang tidak selamat!!”
Untuk memastikan bagaimana perasaan anak-anak nanti jika mereka menaiki tangga dan ketika mereka berada di papan puncak tower, maka sayapun memberi contoh dahulu. Kali ini, anak-anak saya tantang untuk naik pada papan kedua, yang berjarak sekitar 6 meter dari papan pertama. Papan kedua adalah puncak tower. Jujur, saya sendiri belum pernah menaiki tower setinggi ini.
Detak jantung mulai terasa ketika saya sudah berada di tengah-tengah ketinggian tower. Tapi karena Sang Teladan harus mampu memberi contoh yang baik dan malu jika menampakkan ketakutan di depan mata anak didik, maka pikiran inilah yang menguatkan otot-otot tangan dan kaki ini terus memanjat dengan kalimat takbir dalam hati yang tak pernah putus. Akhirnya, sampailah saya di papan puncak tower, dengan degub jantung yang makin kencang karena tempat ini ternyata benar-benar tinggi, ditambah hembusan angin, membuat badan ini seakan-akan bergoyang-goyang. Yang pasti tulang tempurung lutut saya benar-benar bergetar….
Ye..ye..ye…!”, sorak anak-anak sambil bertepuk tangan melihat gurunya sudah berada di puncak. Mereka melihat seakan gurunya begitu gampang menaiki tangga tanpa rasa takut.
Dari atas tower saya berteriak: ”Allahu Akbar, Subhanallah…! Anak-anak, itulah kata-kata yang harus Antum ucapkan ketika sudah sampai puncak sini!!”
“Pak sekarang ana… Pak sekarang ana…!”, mereka mulai berebut untuk antri sebagai orang pertama di depan tangga.
”Tunggu! Jangan dulu naik! Pak Ono akan turun dulu.”
Sayapun turun. Ketika sampai di bawah, saya bertanya kepada anak-anak:
“Siapa yang ragu untuk naik?”
”Siapa yang merasa tidak yakin???”
”Jika ada yang tidak yakin, maka Antum boleh tidak naik! Tapi… Antum tidak akan merasakan bagaimana serunya di puncak sana!”
”Dan bagi Antum yang siap untuk naik, jangan lupa berdo’a kepada Allah untuk dikuatkan agar bisa sampai ke atas sana! Dan ketika sampai di puncak, Antum langsung duduk! Ingat, langsung duduk setelah mengucapkan takbir dan tasbih! Tidak ada pesawat yang diterbangkan duluan! Kita akan menerbangkan pesawat bersama-sama! Dan kita akan lihat pesawat siapakah yang paling lama di udara…”
Maka anak-anakpun naik satu per satu sampai di puncak bersama gurunya yang harus naik-turun tangga untuk mengawal mereka satu persatu; mengawal di bagian bawah, tepat setelah kaki mereka (bagi yang berani) dan di sisi belakang badan (bagi yang agak takut).
24 kali naik dan dua 24 kali turun tangga tower setinggi 20 meter, hanya untuk menerbangkan pesawat kertas dan melihat setiap murid tersenyum bangga. Namun saya yakin mereka akan selalu mengingat peristiwa ini, karena setiap anak juga mempunyai jantung yang berdegup di setiap titian tangga dan tulang tempurung yang bergetar… persis sama dengan yang dirasakan gurunya….
Sekedar Pesawat Kertas ternyata mampu membuat bahagia anak-anak didik dan menjadikan Sang Guru sebagai teman yang menyenangkan bagi mereka. Tidak sekedar pesawat kertas, tetapi pengorbanan, keyakinan dan cinta-lah yang membuat pesawat kertas menjadi mainan yang luar biasa.