Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَاِ ذَا ضَرَبْتُمْ فِى الْاَ رْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَا حٌ اَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلٰوةِ ۖ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَّفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا ۗ اِنَّ الْـكٰفِرِيْنَ كَا نُوْا لَـكُمْ عَدُوًّا مُّبِيْنًا
Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqasar shalat jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisa’ 4: Ayat 101)
Dalam rangka diadakannya pra LKMA (Latihan Kepemimpinan dan Management Tingkat Akhir) yang akan diselenggarakan dari tanggal 19 – 29 Mei mendatang bagi santri kelas 11 SMAIT Insantama, maka perlu dipersiapkan segala keperluannya, termasuk pembekalan dan training fiqh safar. Hal ini dilakukan demi tetap sempurnanya ibadah meski dalam melakukan perjalanan sekalipun. Jangan sampai dalam rangka menimba ilmu dan menyelesaikan study, ibadah mahdhah, khususnya shalat justru dilalaikan.
Pada kesempatan kali ini, materi training kali ini diberikan langsung oleh Buya Muhibuddin. Agenda ini dilakukan pada Jum’at/12 Mei 2023, mulai sehabis shalat Jum’at hingga menjelang waktu ashar.
“Anak-anak sekalian, safar artinya rihlah, ziarah atau pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.” Jelas Buya di hadapan semua peserta yang hadir.
Beliau juga menjelaskan bahwa, dalam ketentuan safar, orang yang safar tidak boleh mengqashar shalat hingga ia meninggalkan rumah terakhir yang ada di daerah dimana ia menjadi penduduk di sana. Para ulama bersepakat bahwa seorang muslim yang berada di perjalanan safar, baik jauh ataupun dekat, atau berapapun jaraknya (selama masih termasuk jarak safar), maka ia musafir.
“Anak-anakku sekalian, mengqashar (meringkas rakaat) shalat ketika safar hukumnya sunnah muakkad (sangat ditekankan). Namun jika menyempurnakan shalat, shalatnya tetap sah.” Sambung beliau.
“Seorang musafir jika shalat menjadi makmum dari imam yang berstatus muqim, maka musafir tersebut tidak boleh mengqashar shalatnya. Boleh menjamak (menggabungkan) shalat ketika safar. Zhuhur dijamak dengan ashar, maghrib dengan isya. Shalat subuh dikerjakan pada waktunya dan tidak dijamak dengan shalat sebelum atau sesudahnya.” Sambung beliau kemudian.
Dalam penjelasannya, beliau juga mengungkapkan bahwa, Menjamak shalat dengan shalat sebelumnya dinamakan jamak taqdim, contohnya yang dilakukan Rasul saw pada hari Arafah saat haji Wada’, beliau menggabungkan shalat ashar dengan zuhur. Menjamak shalat dengan shalat sesudahnya disebut jamak ta’khir, misalnya yang dilakukan Rasul saw di Muzdalifah pada malam hari, beliau menggabungkan shalat Maghrib dan Isya. Ketentuannya, shalat Subuh dan Maghrib tidak boleh diringkas, sedangkan yang lainnya boleh diringkas.
Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir, yang dilakukan adalah shalat Zhuhur. Seperti yang dilakukan nabi saw dalam hajinya. Karena ketika itu bertepatan dengan hari Jum’at dan beliau tidak shalat Jum’at dan shalat zhuhur dijamak dengan shalat ashar.
“Anak-anak, ada beberapa adab yang harus kita lakukan sebelum safar, yaitu, shalat istikharah meminta petunjuk mengenai waktu safar, kendaraan yang digunakan, teman perjalanan dan arah jalan. Kemudian dianjurkan juga memperbanyak taubat dan ampunan dari maksiat, minta maaf kepada manusia atas kezaliman yang dilakukan dan menyelesaikan muamalah yang belum ditunaikan. Lalu melakukan safar bersama tiga orang atau lebih, mencari teman perjalan yang baik, mengangkat pemimpin dalam rombongan safar yang mempunyai akhlak yang baik, akrab dan tidak egois serta membaca do’a sebelum keluar rumah.” Jelas beliau.
“Kemudian anak-anak, ada adab-adab saat safar yang juga harus kita perhatikan, yaitu menaiki kendaraan dan mengucapkan do’a safar (bepergian), bertakbir saat melewati perjalanan mendaki dan bertasbih jika melewati jalan menurun dan memperbanyak berdo’a karena safar merupakan salah satu waktu yang mustajab untuk berdo’a.” Jelas beliau kembali.
“Kemudian anak-anak, Adab-adab pulang safar yang harus kita lakukan adalah mengucapkan do’a safar dan sujud syukur atas perjalanan yang sudah terlaksana kita lakukan.” Ungkap beliau mengakhiri materinya.
Semoga dengan materi fiqh safar ini, para ananda paham dan dapat mempraktekkan bagaimana tata cara pelaksanaan bersuci dan beribadah di atas kendaraan. Sehingga ibadah shalat tetap terjaga meski dalam keadaan safar sekalipun.[]